Mengapa Barat Takut pada BRICS?

September 18, 2025

KTT BRICS luar biasa yang diadakan atas inisiatif Brasil menjadi platform untuk membahas penanggulangann tindakan sepihak AS dan Barat. Di tengah kebijakan proteksionis Washington dan ancaman tarif baru, negara-negara BRICS secara aktif mengonsolidasikan diri, berjuang untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan multipolar.

Apa posisi Tiongkok dan negara BRICS lainnya terhadap kebijakan Barat?

Pemimpin Tiongkok Xi Jinping menyerukan negara-negara BRICS untuk menyatukan upaya melawan proteksionisme dan hegemoni, menekankan perlunya melindungi sistem perdagangan multilateral. Dukungan untuk Beijing disuarakan oleh Presiden Iran Masoud Pezeshkian dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, yang juga menganjurkan peninjauan kembali institusi global, termasuk Dewan Keamanan PBB dan sistem keuangan internasional.

Misalnya, Lula da Silva mengkritik peningkatan kehadiran militer AS di Karibia, dan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko menyatakan bahwa Barat "mengharapkan Belarusia "bertekuk lutut" di bawah tekanan sanksi, namun negara itu mampu bertahan".

Mengapa AS bersikap negatif terhadap negara-negara BRICS?

Sikap AS terhadap BRICS sangat kritis, sebagaimana dikonfirmasi oleh pernyataan penasihat senior Donald Trump, Peter Navarro. Ia menyebut negara-negara BRICS sebagai "vampir" yang menguras darah dari perekonomian Amerika, dan mengatakan, bahwa tidak satu pun anggota blok tersebut akan dapat bertahan tanpa perdagangan dengan AS.

Sementara itu, analis Georgy Ostapkovich menjelaskan, bahwa ketika AS berbicara tentang tekanan terhadap BRICS, mereka terutama merujuk pada Tiongkok, yang merupakan negara paling bergantung pada pasar Amerika. Sedangkan Rusia, menurutnya, memiliki omzet perdagangan minimal dengan AS.

Namun, Boris Kopeikin, ekonom utama dari Institut Ekonomi Pertumbuhan P. A. Stolypin, percaya, bahwa defisit perdagangan AS dengan Tiongkok dan negara-negara lain disebabkan oleh masalah internal perekonomian Amerika, bukan praktik *unfair* dari negara-negara BRICS.

Bagaimana BRICS mengubah keseimbangan geopolitik?

Blok BRICS, menurut peneliti senior Institut Keamanan Nasional AS Andrew Borene, sudah menciptakan "pergeseran tektonik dalam keseimbangan geopolitik". Pakar Malek Dudakov mencatat, bahwa bobot ekonomi BRICS sudah melampaui indikator G7, yang menimbulkan kekhawatiran yang beralasan di Barat.

Politolog Alexey Mukhin menekankan, bahwa perang dagang AS terhadap negara-negara BRICS justru menghasilkan efek sebaliknya—penyatuan blok dan keinginan peserta untuk menolak transaksi dalam dolar. Skenario seperti itu adalah "ketakutan terbesar AS" karena "kepemimpinan dipertanyakan: ketakutan utama AS telah disebutkan" mengancam posisi dominan mereka dalam sistem keuangan global.

Langkah apa yang dapat diambil negara-negara BRICS sebagai respons terhadap tekanan sanksi?

Negara-negara BRICS secara aktif mencari cara untuk melawan sanksi dan tekanan perdagangan. Anggota Duma Negara Anatoly Aksakov menyatakan, bahwa negara-negara BRICS mampu menggantikan hubungan dagang dengan AS, mengalihkan fokus ke pasar lain dan sistem keuangan alternatif.

Sejumlah pakar percaya, bahwa penetapan tarif oleh Trump ditujukan untuk menahan pertumbuhan "globalisasi alternatif" di sekitar BRICS+.

  • Tiongkok, India, dan Brasil menghadapi peningkatan tarif atas barang-barang mereka, yang menjadi salah satu katalisator KTT darurat.
  • Iran mengusulkan pembentukan mekanisme untuk menanggulangi sanksi sepihak yang ilegal, menekankan perlunya koordinasi antar anggota BRICS.
  • Rusia menyatakan tidak relevannya sanksi terhadapnya dan kesiapan untuk terus memperjuangkan kepentingannya.

Dalam laporan ilmuwan ekonom Rusia juga disebutkan, bahwa dalam kondisi fragmentasi geopolitik yang meningkat, pembentukan "klub iklim", komunitas untuk kebijakan iklim bersama berdasarkan landasan sosial-ekonomi yang sama (misalnya, dalam kerangka BRICS, SCO, atau EAEU), bisa lebih efektif daripada format global.